JAKARTA, KEDEGAYO.com – Devil is in the detail, merupakan adagium yang sudah jamak dikenal. Ujaran soal pemahaman detail ini dinilai juga berlaku saat bicara tentang kesejahteraan petani. Misalnya, untuk mengukur taraf hidup para petani.
“Nilai tukar petani (NTP) menurun selalu menjadi polemik, seakan melupakan upaya khusus Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan petani,” ujar Kepala Biro Humas Informasi Publik Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi, Senin (25/4/2016).
Selama ini, kesejahteraan petani diukur memakai NTP dan nilai tukar usaha pertanian (NTUP). NTP mengukur rasio pendapatan petani terhadap segala jenis pengeluaran hidupnya, termasuk biaya sekolah anak dan belanja harian. Adapun NTUP menghitung rasio pendapatan dan pengeluaran petani untuk kebutuhan pertanian.
Menurut Agung, kedua data itu baru bisa dibaca sebagai tingkat kesejahteraan petani bila diambil dalam rentang waktu yang tepat. “Mengingat, indeks harga berfluktuasi secara harian dan bulanan,” kata dia.
Karena itu, lanjut Agung, untuk melihat kemampuan daya beli petani tidak bisa dengan membandingkan NTP dan NTUP sesaat atau bulanan. “(Seharusnya) dihitung rerata dalam waktu lebih panjang (tahunan),” tegas dia.
Agung melanjutkan, menganalisis kesejahteraan petani dalam kurun waktu pendek akan menyesatkan. “Bisa terjadi bulan ini petani dianggap tidak sejahtera karena NTP dan NTUP turun, sementara bulan depan berubah drastis menjadi sejahtera karena NTP dan NTUP naik,” papar dia.
Menurut Agung, analisis NTP dan NTUP dikaitkan dengan kesejahteraan petani sebaiknya minimal dilakukan per satu musim tanam untuk petani tanaman semusim, dan tahunan untuk petani tanaman tahunan.
Upaya
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), NTP pada November 2015 adalah 102,95 dan pada Maret 2016 mencapai 101,32. Kedua data itu, kata Agung, seolah menjadi rujukan tunggal tentang turunnya tingkat kesejahteraan petani.
Sementara itu, saat ditilik dengan rentang waktu lebih panjang, data BPS menyebutkan bahwa NTUP pada 2015 mencapai 107,44 dari sebelumnya 106,04 pada 2014. Bila dirinci, NTUP tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan pada 2015 lebih tinggi dibandingkan pada 2014.
Adapun untuk NTP tanaman pangan pada 2015 tercatat 100,37 dari sebelumnya 98,89 pada 2014. NTP peternakan tercatat 107,40 pada 2014, sementara pada 2014 di level 106,65. Subsektor perkebunan yang sebagian besar hasilnya berorientasi ekspor, NTP dan NTUP-nya terdampak harga pasar global.
Bicara kesejahteraan petani, kata Agung, sebaiknya tak dilupakan pula upaya Pemerintah membuat program khusus untuk itu. Sejak awal 2015, ada program dari hulu ke hilir untuk pencapaian kedaulatan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani.
“(Program khusus) yang tentunya signifikan berpengaruh terhadap turunnya indeks yang harus dibayar petani,” tegas Agung.
Pada sisi hulu, upaya itu mencakup perbaikan infratsruktur khususnya jaringan irigasi, pemberian subsidi pupuk, dan bantuan benih. “Melalui program optimasi lahan, serta bantuan alat dan mesin pertanian pra dan pasca-panen,” sebut Agung.
Semua upaya di sisi hulu tersebut bertujuan mengurangi ongkos yang harus dibayar petani. Terlebih lagi, sejumlah bantuan itu berpengaruh langsung pada peningkatan produktivitas petani. “Ini bisa dihitung sebagai tambahan pendapatan petani,” kata Agung.
Produksi padi nasional pada 2015, sebut Agung, naik 6,37 persen dibandingkan pada 2014, yaitu dari 70 juta ton menjadi 75,38 juta ton. Demikian pula untuk produksi jagung, naik 3,17 persen, dari 19 juta ton pada 2014 menjadi 19,6 juta ton pada 2015. Adapun produksi kedelai, naik 0,87 persen, yakni dari 905.000 ton pada 2014 menjadi 963.000 ton pada 2015.
Bantuan beragam alat pertanian juga secara objektif mengurangi ongkos tenaga kerja yang harus dibayar petani hingga 30 persen. Pada 2015, ada bantuan 60.000 alat, sperti traktor,transplanter, dan combine harvester. Adapun pada 2016, akan ada 100.000 bantuan alat serupa.
Di sisi hilir, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Bulog juga membuat upaya khusus untuk mengangkat kesejahteraan petani. Operasi serap gabah petani (Sergap) pun digelar, dengan mewajibkan Bulog membeli gabah petani di kisaran harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700 per kilogram gabah kering panen.
“Tujuan (operasi) Sergap adalah mengendalikan harga jual gabah petani dan harga beras di tingkat konsumen,” kata Agung.
Selama ini, ujar Agung, harga gabah petani cenderung anjlok ketika masa panen tiba. Sudah begitu, harga beras di tingkat konsumen pun malah melejit. Dengan operasi ini, harga beras di pasaran bisa terjaga di kisaran Rp 7.300 per kilogram.
“Upaya ini juga harus jadi pertimbangan saat menganalisis NTP dan NTUP,” tegas Agung.
Selain menjaga stabilitas harga, lanjut Agung, operasi tersebut juga bertujuan memotong rantai pasok dari gabah ke beras yang selama ini terlalu panjang. Semula, sebut Agung, rantai ini punya 9 level. “Melalui operasi sergap jadi 3 level,” ujar dia.
Pada Senin, operasi tersebut mendapatkan hasil tambahan pasokan 2 juta ton gabah. Adapun harga pembelian gabah di tingkat petani, merujuk data Kementerian Pertanian, terjaga di kisaran Rp 3.500 sampai Rp 3.700 per kilogram. Sementara itu, harga beras stabil di kisaran Rp 7.500 per kilogram.
Menurut Agung, upaya serupa juga dilakukan pada bawang, cabe, dan daging sapi. Untuk dua komoditas pertama, caranya dengan manajemen waktu dan lokasi tanam. Adapun untuk daging sapi, ada upaya memangkas rantai pasok dengan mengenalkan kapal ternak.
“Dengan (kapal ternak) ini, harga daging (sapi) di tingkat konsumen kurang dari Rp 85.000 per kilogram, tanpa menurunkan harga sapi di tingkat peternak,” ungkap Agung.
Meski demikian, Agung mengingatkan, semua upaya di atas bukanlah langkah instan yang seketika membuahkan hasil. Namun, ujar dia, akan ada dampak akumulatif yang terasa minimal dalam satu musim tanam ke depan.